Dr. Syahril Muhammad


Dalam peradaban maritim di timur Nusantara, setiap kata tak hanya menjadi alat komunikasi, tapi juga wadah nilai. Di tanah Makean, salah satu kata yang memuat filosofi hidup mendalam adalah Marabose—sebuah konsep kultural yang menandai kesiapan masyarakat untuk menyambut peluang dan menjawab tantangan dengan arah yang jelas.

Marabose sering dimaknai sebagai bentuk kesiapsiagaan: Makean mendayung sambut. Sebuah ungkapan yang bukan hanya simbolik, tetapi fungsional dalam kehidupan sehari-hari orang Makean. Di balik makna harfiahnya, Marabose mengajarkan kesadaran arah, posisi, dan keharmonisan dengan lingkungan.

Orang Makean mengenal prinsip:

Timur ke timur

Barat ke barat,

Selatan ke selatan,

Utara ke utara.

Ini bukan sekadar ungkapan arah mata angin, tetapi cermin dari laku hidup bahwa menyambut peluang atau menanggapi keadaan harus dilakukan dengan memahami dari mana datangnya arus, dan ke mana kita harus mengarah.

Sebagaimana saya catat dalam beberapa pertemuan dengan tetua adat dan warga Makean, Marabose adalah cara berpikir strategis—lahir dari tradisi pelaut, tumbuh dalam pergaulan masyarakat kepulauan, dan diwariskan dalam bentuk petuah maupun praktik sosial. Ia menjadi panduan untuk tidak gegabah, melaju tanpa peta, dan tidak ikut arus tanpa nalar.

Dalam masyarakat Makean, frasa “Mari Marabose dulu” kerap digunakan dalam musyawarah sebagai penanda bahwa keputusan tak boleh terburu-buru. Kita perlu membaca arah angin sosial, menakar kesiapan kolektif, dan menentukan momentum yang tepat. Sehingga, mendayung bukan asal kayuh, tapi dayung yang seirama dengan ombak zaman.

Marabose sebagai Strategi Budaya

Di tengah perubahan sosial yang cepat, termasuk dalam dinamika perjuangan otonomi dan identitas daerah, Marabose menemukan relevansi barunya. Ia menjadi pengingat bahwa gerakan sosial-politik harus disertai dengan orientasi dan kesiapan kolektif.

Marabose menghindari pendekatan emosional yang berlebihan, namun justru menekankan strategi, navigasi, dan kepekaan geoposisi. Dalam konteks perjuangan gugus pulau seperti MAKAYOA (Makean-Kayoa-Kasiruta), Marabose adalah fondasi. Ia memandu kita agar tidak menyongsong masa depan dengan kebingungan arah.

Sebagaimana saya tuliskan dalam Catatan Lapangan Budaya Pesisir Halmahera (2019):

> “Marabose adalah manifestasi dari etos strategis orang Makean. Ia menunjukkan kesiapan untuk tidak hanya menyambut peluang, tapi melakukannya dengan arah yang tepat. Dalam bahasa strategi, ini adalah etika geoposisi.”

Dalam pandangan saya, Marabose bukan semata kearifan lokal, tetapi bisa dibaca sebagai bentuk etika kepemimpinan masyarakat maritim. Ia mengajarkan bahwa perubahan tidak hanya perlu semangat, tetapi juga kesadaran arah, posisi, dan waktu.

Menutup dengan Arah

Kini, ketika semangat kebangkitan daerah-daerah gugus pulau mulai menyala, filosofi Marabose bisa menjadi kompas kultural. Sebab dari tanah ini, kita diajarkan bahwa dayung bisa mengubah arah, asalkan dilakukan dengan sadar, bersama, dan tepat waktu.

Marabose adalah pelajaran tentang hidup yang tidak kaku dalam prinsip, tapi juga tidak hanyut dalam arus. Ia adalah cara orang Makean—dan kini kita semua—dalam mendayung sambil membaca bintang dan ombak zaman.

Oleh : Kiebesi.com
Editor