Catatan Om Pala Gugus Pulau – Mukhtar Adam


Hembusan angin malam menyatu dengan percikan air laut di dermaga Bastiong. Dari kejauhan, sayup terdengar lagu Vaya Con Dios—secara harfiah berarti “Pergilah bersama Tuhan.” Lagu ini pertama kali dipopulerkan oleh Anita O’Day pada Desember 1952, dengan syair ciptaan Larry Russell, Inez James, dan Buddy Pepper. Lantunannya menyayat ingatan akan almarhum Om Nyong di Pelabuhan Achmad Yani—ketika berangkat menempuh studi ke Makassar. Kala itu, anak-anak muda tampak saling melepas kekasihnya yang berlayar ke pulau seberang, seolah menghidupkan syair lama: Pergilah kasih, Tuhan akan selalu menjagamu, sebagaimana Ia menjaga kesemestaan.

Suara Laut dan Amarah Alam

Di balik air laut yang tampak tenang, tumpukan sampah dari barangka (kali mati) turut mengantar kepergian kapal. Laut kini menanggung beban cuaca ekstrem yang tak kunjung reda. Di atasnya, bayang-bayang kelam investasi tambang terus menari, meraup keuntungan global, sambil meluluhlantakkan keindahan Raja Ampat, yang terjepit antara Pulau Halmahera dan gemuruh Pulau Obi. Di antara percikan gelombang laut, terdengar bisikan amarah atas kerakusan manusia yang lupa anak-cucu masa depan.

Kapal tetap melaju, menyusuri selat di antara Pulau Moti dan Makeang. Kesunyian membalut tanah Dodomi. Aroma cengkih dan denting kenari bergema samar dalam permainan koba-koba yang kian jarang terdengar. Pelabuhan Walo, dulu pusat dagang, kini redup tak bersuara. Dentuman beduk masjid yang dahulu bersahutan kini nyaris hilang. Alam dan isinya seperti telah wafat di zamannya. Satu per satu warga memilih pergi, meninggalkan pulau, meninggalkan kenangan. Sunyi menyelimuti makam-makam leluhur yang kini terkubur senyap dalam kesepian.

Penjaga Tradisi dan Asa yang Tak Padam

Lagu Taba Ni Uto mengalun lirih, menemani sebatang rokok dan secangkir kopi hitam racikan barista kampung. Di seberang sana, masih ada warga yang setia menjaga pusaka leluhur. Mereka merawat dan memelihara tradisi yang telah ditinggalkan oleh saudaranya, yang kini bertarung di negeri orang demi kelayakan hidup.

Laut, tanjung, dan pulau memang menjadi pemisah jarak, tapi tak sanggup memisahkan rasa dalam dada Basudara. Di sanubari, tumbuh asa yang dibentuk oleh air mata, keringat, dan darah—berbalut etos leleyan. Pulau amarah ini melahirkan anak-anak tabah yang melawan zaman. Mereka yang kini pergi meninggalkan kisah derita warga pulau, hidup mengampung sebagai “anak piara” di negeri orang, bertahan dari belas kasih, dihina, dianggap masyarakat kelas dua.

Namun waktu bergulir. Evolusi sosial menghadirkan generasi baru yang tampil di panggung depan, menggugat ketertinggalan, melawan kezaliman, menantang arus kelaziman, masuk dalam perangkap reformasi. Mereka menjadi cita dari asa derita yang lama terpendam, menuntut kelaziman baru bagi anak-anak pulau yang terpencar oleh tantangan alam.

Setabah Pulau, Setabah Warganya

Pulau yang dikenal dengan nama Tabah seolah menjiwai karakter warganya. Mereka menjalin hidup dalam janji-janji politisi: menstabilkan harga dengan Tol Laut yang tak pernah singgah, melambungnya biaya hidup, naiknya harga pangan, sandang, dan papan—setinggi perjalanan pejabat daerah yang memoles tugas negara dengan uang rakyat. Pendidikan hanya tinggal jargon; fasilitas dan guru tak memadai. Janji kesehatan gratis hanya tinggal ucapan, sementara kampung membaca mantra kematian yang datang saban senja.

Namun warga pulau tidak menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Mereka tidak protes. Mereka tidak mengeluh.

Mereka ikhlas—pada luka yang tak pernah sembuh.

Mereka tulus—pada kebodohan yang terus diwariskan dari panggung ke panggung politik.

Mereka rela—membeli barang mahal, sembari menggenggam janji kesejahteraan.

Mereka tawakal—pada alam, yang tiap waktu menyampaikan kebenaran dalam bahasa yang selalu dibohongi.

Mereka telah belajar ikhlas.

Seikhlas bergantinya waktu.

Setulus doa yang terus dipanjatkan bagi pemimpinnya.

Setabah tanah yang terus diinjak.

Setabah pulau yang terus ditinggalkan.

Oleh : Kiebesi.com
Editor
Oleh : Kiebesi.com
Reporter