Oleh: Dr. Syahril Muhammad
Dalam khazanah sejarah Maluku Utara, nama Pulau Makean tak dapat dilepaskan dari kemegahan empat kerajaan tua yang membentuk identitas kawasan ini—Ternate, Tidore, Jailolo, dan Makean sendiri. Makean adalah satu dari Maloko Kie Raha, pilar kultural yang membentuk relasi kekuasaan, perdagangan, dan kebudayaan di gugus kepulauan Maluku Utara.
Namun sejarah mencatat, Makean pernah mengalami pergolakan besar akibat ancaman alam. Gunung api Kie Besi, yang mendominasi lanskap pulau itu, menjadi sumber kegelisahan dan ketidakpastian bagi penduduk. Letusan demi letusan mengguncang rasa aman rakyat. Dalam situasi inilah, muncul keputusan yang monumental: evakuasi besar-besaran dari Pulau Makean ke wilayah Bacan.
Keputusan itu diambil oleh Sultan Muhammad Bakir, seorang pemimpin yang menaruh perhatian besar pada keselamatan rakyatnya. Peristiwa ini kemudian dikenal dalam tradisi lisan sebagai Gerakan Marabose, dan menjadi tonggak penting dalam sejarah diaspora orang Makean.
Evakuasi ini menempuh dua jalur besar. Jalur pertama dimulai dari Tafasoho, kemudian menyusuri Tagono, Talimau, dan menyeberang ke Boki ma Ake (Kasiruta), sebelum menetap di Labuha. Ini adalah rute selatan yang relatif lebih aman dan terencana.
Sementara itu, jalur kedua mengambil arah timur, bermula dari Tahane menuju dataran Halmahera yang kala itu dikenal sebagai Dolik. Namun sayangnya, wilayah ini tidak bersahabat karena gangguan dari canga-canga—sebutan lokal untuk perompak Tobelo-Galela. Karena itu, rombongan ini melanjutkan perjalanan ke Sabatang dan bermukim sementara di Babang. Di sana, mereka menanti kabar dari saudara-saudara yang mengambil jalur pertama, sebelum akhirnya bergabung bersama di Labuha.
Di sinilah terjadi proses penyatuan dan transformasi identitas: dari kerajaan Makean di pulau asal menjadi fondasi Kesultanan Bacan yang baru. Bahkan, sultan pertama di Bacan merupakan penerus dari dinasti Sultan Makean, dan nama ibu kota kesultanan pun diambil dari warisan yang dibawa dari tanah asalnya.
Meski sebagian besar rombongan berhasil menetap di Bacan dan membangun tatanan baru, tidak semua rakyat Makean mengikuti perpindahan tersebut. Sebagian kerabat kerajaan dan pengikutnya memilih untuk bertahan di Tahane, serta kawasan sekitarnya seperti Soma dan Mailoa. Mereka menilai daerah-daerah ini lebih aman dari ancaman letusan gunung.
Dari pilihan inilah muncul satu hipotesis menarik yang berkembang di kalangan masyarakat lokal: Putra Mahkota Sultan Makean mungkin tidak ikut serta dalam rombongan ke Bacan, tetapi menetap di Tahane. Hipotesis ini bukan sekadar spekulasi, melainkan bagian dari memori kolektif yang masih hidup di tengah masyarakat Makean hingga kini.
Nama Komalo Besi Limau Dolik pun lahir dari jejak-jejak ini. Ia merupakan simbol geografis dan kultural dari wilayah-wilayah yang menjadi tempat berdiamnya keturunan dan masyarakat Makean pasca-evakuasi. “Komalo Besi” merujuk pada warisan kekuasaan (besi: simbol sultan), “Limau” menggambarkan kawasan pemukiman baru, dan “Dolik” adalah tanah persinggahan yang pernah menjadi saksi pengembaraan mereka.
Cerita tentang Komalo Besi Limau Dolik bukan semata nostalgia sejarah. Ia penting sebagai pijakan identitas dalam diskursus masa kini—terutama dalam konteks perjuangan administratif dan politik seperti pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) Makayoa. Narasi ini menyuguhkan dasar historis yang kuat bahwa masyarakat Makean, Kayoa, dan Kasiruta telah lama terhubung dalam jejaring sosial dan budaya yang berlapis dan dinamis.
Lebih dari itu, kisah ini juga menunjukkan bahwa sejarah bukanlah sesuatu yang beku, melainkan hidup dalam ruang ingatan kolektif. Dalam sejarah itu tersimpan nilai-nilai tentang keberanian, solidaritas, adaptasi, dan kesinambungan warisan leluhur—nilai-nilai yang amat relevan bagi generasi hari ini dan esok.
Negeri Komalo Besi Limau Dolik bukan sekadar wilayah, tetapi sebuah narasi hidup tentang bagaimana manusia bertahan, berpindah, dan membentuk kembali identitasnya. Ia adalah bukti bahwa diaspora bukan akhir dari sejarah, melainkan awal dari babak baru yang tetap berakar pada kebanggaan atas asal-usul. Sebuah pelajaran penting tentang bagaimana sebuah komunitas melintasi bencana dan waktu, namun tetap setia pada jati dirinya.
Tinggalkan Balasan