Oleh: Mukhtar A. Adam
“Jika kita keliru menyebut diri, kita bisa keliru menyusun nasib.
Maluku Utara, tanah Moloku Kie Raha yang penuh sejarah, kerap disebut sebagai “daerah kepulauan”. Sebutan ini terlihat biasa saja, bahkan terasa megah. Namun, dalam kacamata hukum laut internasional dan tata negara, istilah tersebut ternyata keliru, dan bisa berakibat fatal dalam kebijakan.
Indonesia memang negara kepulauan (archipelagic state) yang sah diakui dunia sejak Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982). Tapi provinsi-provinsi seperti Maluku Utara, Maluku, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau bukanlah “negara dalam negara”. Mereka adalah bagian dari gugus pulau (island groups) dalam wilayah Republik Indonesia.
Lantas, mengapa penting membedakan antara “kepulauan” dan “gugus pulau”? Karena istilah bukan sekadar bahasa, mereka adalah hukum, hak, dan arah pembangunan.
Negara Kepulauan
Indonesia adalah salah satu negara yang berhasil memperjuangkan konsep “archipelagic state” dalam UNCLOS 1982. Menteri Luar Negeri saat itu, Prof. Mochtar Kusumaatmadja, menyatakan bahwa:
“Indonesia bukan negara yang memiliki pulau-pulau, tetapi negara yang terdiri dari pulau-pulau.”
Status ini memberi Indonesia hak untuk menarik garis dasar kepulauan dan menetapkan wilayah laut sebagai bagian dari kedaulatan nasional, termasuk 12 mil laut wilayah teritorial, 24 mil zona tambahan, dan 200 mil Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Inilah yang membuat laut antarpulau menjadi “laut nasional”, bukan laut bebas seperti zaman kolonial.
Namun, pengakuan ini berlaku hanya untuk negara, bukan untuk daerah. Wilayah seperti Maluku Utara secara hukum dan geopolitik bukan negara kepulauan, melainkan gugus pulau – sekumpulan pulau yang berdekatan secara geografis dan membentuk satu kesatuan administratif di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Gugus Pulau
Dalam konteks tata kelola daerah, “gugus pulau” lebih tepat karena mencerminkan keterhubungan geografis dan administratif. Istilah ini juga memudahkan analisis spasial dan distribusi layanan publik.
Seperti disampaikan dalam UNCLOS Article 46, negara kepulauan adalah entitas yang terdiri dari gugus-gugus pulau “yang saling berkaitan secara geografis, ekonomi, dan politik secara historis.”
Wilayah seperti Halmahera, Makian, Kayoa, Morotai, dan Taliabu di Maluku Utara jelas memiliki identitas gugus pulau. Mereka saling terhubung, tetapi memiliki karakter dan tantangan lokal masing-masing.
Mengapa Ini Penting?
Karena istilah membentuk persepsi, dan persepsi menentukan kebijakan.
Bila Maluku Utara mengklaim dirinya sebagai “daerah kepulauan”, maka implikasi hukumnya menjadi rancu. Ia tidak bisa menarik garis dasar laut sendiri, menetapkan zona eksklusif, apalagi menolak jalur pelayaran internasional. Itu adalah kewenangan negara, bukan provinsi.
Namun bila kita menyebutnya sebagai “wilayah gugus pulau”, maka kita bisa memperjuangkan kebijakan otonomi yang lebih adil dan kontekstual. Misalnya:
Sistem pendidikan dan kesehatan yang terdesentralisasi antar-pulau.
Layanan transportasi dan logistik antarpulau berbasis subsidi khusus.
Tata kelola sumber daya laut yang berbasis gugus ekosistem.
Perencanaan pembangunan dengan basis klaster pulau, bukan sekadar ibukota provinsi.
Kutipan Sejarah yang Terlupakan
Jauh sebelum konsep negara modern lahir, bangsa-bangsa di Timur sudah menyebut wilayah ini sebagai “Jazirah Al-Mulk” atau “Kepulauan Para Raja”. Dalam buku History of the Indian Archipelago (1820), John Crawford mencatat bahwa gugus pulau di kawasan ini adalah wilayah yang khas dan saling terhubung melalui laut, bukan daratan.
Nama “Indonesia” sendiri pertama kali diusulkan oleh George Samuel Windsor Earl pada 1850 dan dikembangkan oleh James Richardson Logan, lalu dipopulerkan oleh Adolf Bastian dan Ki Hajar Dewantara. Jadi, bahkan identitas kita dibangun atas dasar “gugus pulau, ” bukan pulau-pulau yang terpisah.
Mulailah Berubah
Kita perlu mengakhiri kebiasaan keliru ini. Pemerintah pusat, daerah, media, dan akademisi harus mulai menyebut wilayah seperti Maluku Utara sebagai “wilayah gugus pulau”. Ini adalah koreksi ilmiah dan konstitusional.
Sebab dari kesalahan istilah, lahirlah banyak kebijakan yang tidak membumi. Jika pulau kecil selalu tertinggal, layanan publik selalu menumpuk di ibu kota provinsi, dan suara rakyat pulau-pulau kecil tak terdengar maka itu bukan sekadar masalah politik, tapi juga masalah definisi.
“Sebutan yang benar akan melahirkan kebijakan yang adil.”
Jangan salah menyebut, agar kita tidak salah kelola.
Tinggalkan Balasan