Oleh: Mukhtar Adam 


Dua puluh lima tahun pasca Reformasi, desentralisasi yang dijanjikan sebagai jalan “membumikan keadilan” di seluruh pelosok negeri, terutama melalui pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB), justru memperlihatkan paradoks menyakitkan. Negara tampak sibuk memperdebatkan moratorium dan mencurigai pemekaran sebagai ajang bagi elit lokal, sementara lupa bahwa DOB adalah amanat konstitusi untuk mendekatkan tujuan pembangunan kepada manusia Indonesia—yang hidup dalam gugus-gugus pulau, wilayah terluar, dan komunitas terpinggirkan.

Tulisan sebelumnya secara eksplisit menyatakan bahwa pemekaran daerah adalah instrumen negara untuk mendekatkan layanan, anggaran, kewenangan, dan sumber daya demi pemenuhan tujuan pembangunan nasional. Tapi, apakah negara masih ingat mengapa DOB dibentuk?

“Negara Terlalu Sibuk Mengukur”

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai alat ukur pembangunan telah direduksi hanya sebagai angka kompetisi antardaerah. Pemerintah pusat terlalu terobsesi dengan posisi ranking—menjadikan Jakarta, Yogyakarta, atau Bali sebagai standar capaian—tanpa melihat fakta bahwa DOB-dob yang jauh dari pusat justru dipaksa berlari dalam jalur perlombaan yang tak setara.

Bagaimana mungkin Papua Tengah, Papua Pegunungan, atau Maluku Utara bisa mengejar IPM DKI Jakarta, ketika negara tak pernah benar-benar hadir dalam logistik, fiskal, dan pembangunan manusia mereka? Evaluasi IPM tidak bisa hanya mengukur “angka akhir”, karena pembangunan adalah proses panjang, bukan hasil semalam.

“Negara Jangan Cuci Tangan”

Ketika sebagian DOB memiliki IPM lebih rendah dari provinsi induknya, negara justru mengambil jarak. Ini adalah ironi: pemerintah pusat menjadi hakim atas “kegagalan” pembangunan di DOB, padahal struktur anggaran, skema fiskal, dan infrastruktur dasar semua berada di bawah kendali negara. Dalam 14 tahun terakhir, DOB-DOB mencatat pertumbuhan IPM yang bahkan melampaui rerata nasional—7,68 poin dibanding rerata nasional 7,67 poin. Bukankah ini bukti bahwa ketika diberi ruang, wilayah kecil pun bisa bergerak?

Namun, negara lebih cepat memberlakukan moratorium daripada memperbaiki sistem. Negara terlalu cepat menyimpulkan DOB sebagai beban, padahal sesungguhnya kegagalan itu adalah kegagalan negara hadir secara adil.

“Sentralisme Baru Berkedok Evaluasi”

Ironisnya, atas nama “efisiensi“, pemerintah pusat hari ini justru menghadirkan sentralisme baru. Evaluasi DOB dilakukan berdasarkan indikator-indikator yang bias pusat. Standar keberhasilan DOB tidak lagi berbasis pada perbaikan layanan dasar atau penguatan kapasitas lokal, tetapi pada seberapa tinggi IPM dibanding daerah induk—tanpa mempertimbangkan kesenjangan awal yang besar.

Inikah makna baru pembangunan? Negara seolah ingin anak-anak yang baru belajar berjalan untuk ikut lomba lari dengan pelari profesional, lalu mencatatkan kegagalan mereka dalam laporan tahunan.

“Keadilan Bukan Soal Angka”

DOB seharusnya bukan soal administrasi dan angka statistik, melainkan keberpihakan politik. Sebab keadilan bukan hanya tentang berapa persen IPM naik setiap tahun, tetapi bagaimana manusia-manusia di pulau-pulau kecil, di pegunungan, dan di wilayah perbatasan merasa dilihat, dihargai, dan dibantu untuk hidup lebih layak.

Ketika negara hanya sibuk pada efisiensi anggaran dan ranking IPM nasional, maka pada saat itulah kita tahu bahwa negara gagal memahami hakikat pembangunan yang sejati: memanusiakan manusia.

“Jangan Mencari Kambing Hitam”

Sudah waktunya negara berhenti menyalahkan DOB sebagai biang keterbelakangan. Yang gagal bukan pemekaran, tapi sistem dan politik alokasi sumber daya yang tidak adil. Jika negara masih menginginkan Indonesia tumbuh dalam keadilan dan kesetaraan, maka DOB harus dibaca ulang bukan sebagai beban, tetapi sebagai jembatan untuk merawat republik.

Membangun Indonesia dari pinggiran bukan hanya slogan kampanye, tapi ukuran apakah negara masih punya hati pada rakyatnya—yang jauh dari ibu kota, tapi tetap bagian sah dari republik ini.

Oleh : Kiebesi.com
Editor