Oleh: Asmar Hi Daud

Dalam ruang diskusi grup WhatsApp Makayoa, Kakanda Amat Suma menyampaikan sebuah pernyataan yang sangat menggugah: “Pulau Makian 1975 ditipu negara mengosongkan pulau atas dalih letusan Gunung Kie Besi.”

Pernyataan ini kembali mengorek luka lama-luka kolektif yang selama ini sunyi dibahas di ruang terbuka. Namun, dalam memperjuangkan keadilan, akan lebih baik jika kita bisa membedakan antara kemarahan (emosi) yang lahir dari pengalaman traumatis dan narasi yang dibangun atas dasar kebenaran sejarah.

Benar, fakta sejarah mencatat bahwa Gunung Kie Besi memang meletus dahsyat pada 19 Juli 1975. Letusan tersebut bersifat eksplosif dan mengancam keselamatan ribuan jiwa. Pemerintah saat itu mengambil langkah evakuasi menyeluruh terhadap warga Pulau Makian sebagai bentuk perlindungan darurat. Tidak ada kebohongan dalam proses penyelamatan ini. Namun, justru kealpaan negara hadir setelah evakuasi berlangsung, ketika ribuan jiwa yang diselamatkan kemudian ditinggalkan tanpa perlindungan hak, pengakuan dan pemulihan.

Selama bertahun-tahun, warga Makian yang mengungsi ke wilayah Gane, Kayoa, dan sekitarnya hidup dalam ketidakpastian hukum, tanpa status tanah yang jelas, dan terbatas akses terhadap layanan dasar. Dari situasi yang rapuh dan terus-menerus diabaikan inilah kemudian tumbuh identitas baru “Makayoa,” sebuah masyarakat yang lahir dari reruntuhan bencana dan keheningan negara.

Di sinilah letak kealpaan negara yang perlu dikoreksi. Pengungsian yang tak pernah ditindaklanjuti dengan rekonstruksi hak dan keadilan sosial sebagai warga negara. Di sinilah narasi “generasi yang hilang” sebagaimana disentil kakanda Amat menemukan bentuk atau maknanya. Bukan karena tipu daya, tetapi karena negara terlalu lama diam setelah menyelamatkan, namun tak pernah benar-benar memulihkan.

Dan, ketika masyarakat Makayoa mengusulkan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB), itu bukan sekadar aspirasi administratif, melainkan panggilan moral untuk menebus sejarah yang dibiarkan luka. Sebuah bentuk koreksi atas pengabaian yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Maka benar bahwa Makayoa adalah potret kegagalan negara. Namun lebih benar lagi bahwa perjuangan DOB Makayoa adalah ikhtiar untuk memperbaiki kegagalan itu, bukan untuk menyalahkan masa lalu, tetapi untuk membangun masa depan yang lebih adil, setara, dan bermartabat.

Oleh : Kiebesi.com
Editor
Oleh : Kiebesi.com
Reporter