Oleh: Asmar Hi Daud
Makayoa bukan tentang pemekaran melainkan tentang keadilan yang tertunda.
Selama bertahun-tahun, wilayah gugus pulau Makian dan Kayoa hidup dalam bayang-bayang pusat pemerintahan Kabupaten Halmahera Selatan. Jarak geografis yang jauh, keterbatasan akses, dan keunikan karakter sosial-budaya menjadikan wilayah ini seperti “daerah dalam daerah”—secara administratif masuk, tetapi secara pelayanan terasa terpinggirkan. Karena itu, perjuangan untuk menjadikan Makayoa sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB) bukanlah soal ambisi, melainkan soal pemenuhan hak dasar masyarakat atas keadilan spasial.
Mengapa Harus Makayoa?
Wilayah Makayoa mencakup gugus pulau yang memiliki sejarah panjang sebagai penghasil cengkih legendaris dan pusat kehidupan maritim di Maluku Utara. Namun dalam praktik pembangunan, Makayoa kerap tertinggal. Wilayah ini jauh dari pusat kekuasaan administratif, lamban dijangkau kebijakan, dan minim sentuhan infrastruktur.
Kesenjangan spasial inilah yang menjadikan pemekaran sebagai kebutuhan, bukan kemewahan. Tanpa status sebagai DOB, Makayoa akan terus mengalami kesenjangan akses terhadap pelayanan pendidikan, kesehatan, transportasi, hingga digitalisasi. Ketimpangan ini bukan hanya soal jarak fisik, tetapi juga jarak keadilan.
Aspirasi yang Terorganisir dan Teruji
Masyarakat di sembilan kecamatan—Makian, Makian Barat, Kayoa, Kayoa Selatan, Kayoa Utara, dan Kayoa Barat Serta Kasihruta—telah membentuk Komite Perjuangan DOB Makayoa, yang tidak sekadar bergerak dengan tuntutan, tetapi juga menyiapkan dokumen kelayakan secara teknokratik sesuai regulasi Kementerian Dalam Negeri.
Dukungan moral dan politik pun mengalir dari tokoh-tokoh penting, termasuk mantan Gubernur Maluku Utara, Thaib Armayn, Sujud Sirajudin dan Bung Yamin Tawari serta tokoh mudah lainnya. Ini menegaskan bahwa perjuangan Makayoa adalah aspirasi kolektif yang teruji waktu dan legitimasi.
Keadilan Pembangunan Berbasis Gugus Pulau
Makayoa adalah ruang strategis untuk mengembangkan model kabupaten kepulauan berbasis ekonomi biru. Potensi perikanan, ekowisata, dan sumber daya hayati laut sangat besar, namun belum tergarap optimal akibat lemahnya tata kelola lokal.
Pemekaran akan membuka ruang pengelolaan yang lebih adaptif, yakni: zonasi laut terintegrasi, tata kelola pesisir berbasis masyarakat, pelayanan publik yang lebih cepat dan tepat, serta pemberdayaan ekonomi lokal melalui sektor kelautan.
Makayoa adalah gugus harapan. Harapan bahwa laut bukan sekadar objek eksploitasi, tetapi sumber kedaulatan, kesejahteraan, dan identitas.
Saatnya Keputusan Politik Diambil
Kini, desakan kepada DPRD Halmahera Selatan untuk membentuk Panitia Khusus DOB Makayoa kian menguat. Persiapan menuju pengajuan ke pemerintah pusat harus dimulai sejak sekarang. Moratorium bukan penghalang untuk menyiapkan dokumen dan konsolidasi.
Makayoa telah siap secara sosial, administratif, dan teknokratik. Yang dibutuhkan saat ini adalah keputusan politik yang berpihak pada keadilan spasial dan pelayanan yang setara.
Dari Laut, Menuju Meja Keputusan
Pemekaran Makayoa bukan tentang memisahkan diri melainkan tentang mendekatkan negara kepada warga pulau. Bukan karena ambisi politik, tetapi karena realitas geografis dan tuntutan keadilan pembangunan.
Jika negara ingin serius membangun dari pinggiran, maka Makayoa harus menjadi bagian dari jawabannya.
Keadilan spasial bukan jargon. Ia adalah tindakan. Dan untuk Indonesia, tindakan itu dimulai dari Makayoa.
Tinggalkan Balasan