Oleh: Dr. Syahril Muhammad, M. Hum Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Maluku Utara
Letusan Gunung Kie Besi di Pulau Makian adalah bencana alam, tapi juga titik balik sejarah. Ribuan masyarakat Makian kala itu terpaksa meninggalkan tanah kelahiran mereka. Namun perpindahan itu bukan semata-mata pengungsian; itu adalah awal dari sebuah proses pembentukan wilayah baru, tempat nilai-nilai dan warisan Kerajaan Makean tumbuh di tanah Kasiruta.
Kasiruta bukan ruang kosong. Ia menjadi tujuan karena letaknya yang strategis, memiliki sumber daya pertanian dan berada dalam orbit pengaruh Kesultanan Bacan. Kesultanan yang sejarahnya berakar kuat dari Kerajaan Makean. Maka, ketika masyarakat Makian bermukim di Kasiruta, mereka membawa serta bahasa, adat, sistem sosial, bahkan tata kelola kampung. Inilah yang kemudian membentuk jalinan budaya yang menyatu dengan masyarakat lokal dan bertahan hingga kini.
Dalam sejarah panjangnya, Kesultanan Bacan pernah berpengaruh hingga ke Seram dan Raja Ampat. Wilayah-wilayah yang kini menjadi cakupan usulan Daerah Otonom Baru (DOB) Makayoa—akronim dari Makian, Kasiruta, dan Kayoa—sejatinya adalah ruang-ruang yang sejak dahulu telah terhubung secara sosial, politik, dan kultural. Mereka bukan kumpulan pulau yang terpisah, melainkan satu kesatuan historis yang tumbuh dari interaksi panjang antarbangsa lokal.
Kasiruta sendiri tidak bisa dilepaskan dari gugus Makayoa, karena ia tumbuh dari akar sejarah yang sama—akar yang menghubungkan peradaban Makian dengan ruang-ruang baru yang mereka bangun di Kayoa dan Kasiruta. Di sinilah letak kekuatan Makayoa sebagai entitas kepulauan yang terjalin bukan hanya oleh kedekatan geografis, tetapi oleh jejak sejarah yang menyatu dalam identitas bersama.
DOB Makayoa Kepulauan bukan proyek pemekaran semata tepapi adalah pengakuan terhadap sejarah, terhadap narasi yang dibangun dari bawah oleh masyarakat yang selama ini bergerak melintasi laut, menyatukan pulau-pulau dengan nilai gotong royong, persaudaraan, dan ketahanan budaya. Dalam istilah lokal, Makayoa telah lama menjadi tanah bersama—tempat lahirnya solidaritas antarpulau yang terbukti mampu bertahan bahkan di tengah keterbatasan infrastruktur dan pelayanan negara.
Dan ketika wacana pemekaran menguat, kita mesti melihat Makayoa tidak sekadar dari angka statistik atau peta administrasi. Kita harus membacanya sebagai ruang hidup yang tumbuh dari sejarah, dari perpindahan yang dipaksa oleh bencana tetapi melahirkan peradaban baru. Makayoa bukan daerah yang hendak dibuat, ia telah hidup dalam kesadaran masyarakatnya sejak berabad-abad lalu.
DOB Makayoa, karenanya, adalah upaya menegaskan kembali ruang sejarah itu dalam sistem pemerintahan yang lebih adil dan dekat. Ini tentang menghadirkan negara di wilayah yang dulu menjadi pusat lalu lintas kebudayaan, tapi kini sering terpinggirkan. Ini tentang memberi nama dan pengakuan pada tanah bersama yang tumbuh dari sejarah.
Tinggalkan Balasan