Oleh: Dr. Mukhtar Adam

Menelusuri Jejak Sosial Kepulauan yang Menjadi Dasar Usulan DOB Makayoa

Pulau Makian, atau yang juga dikenal sebagai Kie Marah, Taba, atau Waikyowon, merupakan satu dari empat mahkota budaya Maluku Utara yang membentuk simpul sejarah Kie Raha. Dalam banyak narasi, Makian sering disebut sebagai “Kie Ma Fato-Fato, Kie Marah Ma Sarabi,” sebuah simbol peradaban paling ujung namun paling kokoh dalam tradisi maritim kepulauan.

Di tengah bentang samudera, berdiri gagah Gunung Kie Besi, gunung api aktif yang dikenal dengan siklus letusannya sekitar satu abad sekali. Dalam ingatan kolektif masyarakat, dentuman letusan gunung bukan sekadar peristiwa geologis, melainkan peringatan alam terhadap kerakusan dan ketidakseimbangan. Tetapi di balik potensi ancaman itu, masyarakat Makian membentuk karakter ketabahan yang dalam bahasa lokal dikenal sebagai Taba: etos hidup dalam menghadapi alam, perubahan, dan kehidupan pesisir yang keras.

Nilai Taba itu pula yang menempa daya tahan warga menghadapi tekanan demografi. Pada dekade 1950–1970-an, Makian mencatat angka kelahiran tertinggi di wilayah Maluku, bahkan tingkat kepadatan penduduknya tercatat sebagai salah satu yang tertinggi di Indonesia kala itu. Tekanan ini melahirkan gelombang migrasi spontan ke pulau-pulau tetangga seperti Kayoa, Lelei, Kasiruta, hingga menjangkau Halmahera, Ternate, dan Moti. Bukan sekadar eksodus, tetapi pembentukan komunitas baru yang saling terhubung, menyebarkan nilai, dan menumbuhkan sistem sosial-budaya yang adaptif.

Gugusan ini kemudian dikenal sebagai Makayoa, kombinasi kultural dari “Makian-Kayoa”, yang mencakup 18 pulau—11 di antaranya berpenghuni, sementara 7 lainnya berfungsi sebagai wilayah ekonomi produktif. Pola migrasi ini melahirkan bukan hanya pemukiman, tetapi simpul-simpul ekonomi, budaya, dan pendidikan yang mengakar kuat di ruang kepulauan.

Pemerintah pun merespons fenomena ini. Kementerian Sosial kala itu menggagas program transmigrasi lokal (Translog), memindahkan sebagian penduduk Makian ke wilayah-wilayah jarang penduduk seperti Malifut di Halmahera. Namun ikatan emosional terhadap tanah asal begitu kuat. Penolakan terhadap Translog tidak datang dari ketakutan, melainkan dari rasa identitas yang tidak bisa dicabut begitu saja. Sebagai bentuk kompromi, negara mengakui eksistensi itu dengan memberi nama “Kecamatan Malifut Makian Daratan” (melalui PP Nomor 42), sebagai penanda sejarah perpindahan yang tetap berakar pada identitas Makian.

Inilah akar sosial dari usulan pemekaran wilayah menjadi Daerah Otonom Baru (DOB) Makayoa Kepulauan. Pemekaran ini bukan sekadar soal administrasi, tetapi pengakuan atas satu kesatuan sosial, budaya, dan ekonomi yang telah terjalin lintas pulau sejak lama. Di wilayah ini, laut bukan batas, melainkan penghubung kehidupan. Jika di mata bangsa kontinental laut adalah penghalang, maka bagi masyarakat kepulauan, laut adalah jembatan yang menyatukan ruang hidup, identitas, dan masa depan.

Usulan DOB Makayoa sejatinya adalah cermin dari arus sejarah yang tak bisa diabaikan. Ia tumbuh dari ketabahan, berpijak pada migrasi, dan dibentuk oleh solidaritas antarpulau. Dan mungkin, dalam wajah masa depan Indonesia sebagai negara kepulauan, Makayoa adalah contoh kecil bagaimana ruang hidup maritim seharusnya dibaca, bukan dari daratan ke laut, tetapi dari laut yang menyatukan daratan.

Oleh : Kiebesi.com
Editor
Oleh : Kiebesi.com
Reporter