Oleh: Asmar Hi Daud
“Laut bukan batas, tetapi jembatan peradaban.”Ki Hajar Dewantara
Usulan pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) Kabupaten Gugus Pulau Makayoa bukan sekadar pemekaran wilayah administratif. Ini adalah panggilan sejarah sekaligus kebutuhan masa depan generasi pesisir. Di selatan Provinsi Maluku Utara, gugus pulau yang terdiri atas 95 pulau dan 72 desa ini terbentang dari Makian, Kayoa, Kasiruta hingga Bacan Barat, telah lama dihuni oleh masyarakat pesisir yang ulet dalam menghadapi tantangan khas kehidupan kepulauan.
Minimnya infrastruktur, keterbatasan akses layanan dasar, serta ketimpangan pembangunan adalah kenyataan yang telah berlangsung terlalu lama. Fakta menunjukkan bahwa 100% desa di wilayah ini adalah desa pesisir dan pulau kecil.
Mirisnya, Data BPS (2023) mengungkapkan hanya 31% di antaranya yang memiliki dermaga dalam kondisi layak. Keterhubungan antarpulau sangat tergantung pada cuaca, dan fasilitas dasar seperti puskesmas atau sekolah menengah atas sering kali tidak tersedia di pulau yang sama.
Pun, sebanyak 42% desa bahkan tak memiliki fasilitas kesehatan tingkat pertama, dan anak-anak di Kayoa maupun Kasiruta harus menyeberang laut demi mengakses pendidikan menengah. Semua ini membentuk gambaran kegentingan yang tidak bisa lagi ditangguhkan.
Sayangnya, dalam berbagai forum diskusi, kita masih sering terjebak dalam perdebatan semantik. Apakah Makayoa adalah kepulaun atau gugus pulau? Dalam perspektif hukum nasional maupun UNCLOS 1982, Makayoa adalah gugus pulau. Istilah “gugus pulau” ini lebih akurat karena menggambarkan wilayah yang terdiri dari pulau-pulau kecil yang saling terhubung secara geografis, sosial, ekonomi, dan budaya seperti yang dimiliki Makayoa.
Ini bukan sekadar persoalan istilah, melainkan pijakan konseptual yang menentukan arah kebijakan.
Kenapa ini penting, karena istilah yang tepat akan melahirkan desain pembangunan yang tepat pula. Dengan menyebut Makayoa sebagai gugus pulau, kita membuka ruang bagi: Perencanaan layanan publik berbasis pulau, bukan berbasis daratan terpusat; Sistem transportasi laut reguler sebagai tulang punggung konektivitas antarwilayah; Model pendidikan dan kesehatan jarak jauh yang sesuai dengan geografi maritim; serta, Skema fiskal afirmatif seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) berbasis karakteristik gugus pulau.
Kita tak bisa lagi membangun pulau-pulau dengan kacamata daratan. Terlalu lama pendekatan itu gagal menjangkau kenyataan hidup masyarakat pesisir. Maka, langkah pertama yang benar adalah menyebut dan memahami Makayoa sebagai gugus pulau. Seperti ditegaskan Presiden Joko Widodo, “Pembangunan yang adil hanya mungkin bila dimulai dari pengakuan atas kondisi yang real.”
Makayoa harus dibaca sebagai kenyataan gugus pulau. Dari sisi ekonomi, wilayah ini memiliki potensi luar biasa. Perikanan tangkap (ikan pelagis besar seperti tuna, cakalang dan tongkol), perikanan karang, perikanan demersal, serta perikanan budidaya (rumput laut), hingga pengolahan hasil laut.
Namun semuanya terkendala oleh absennya TPI, pelabuhan rakyat, serta logistik dingin dan distribusi pasar. Di saat yang sama, bentang alam bawah laut, situs sejarah maritim, dan kearifan budaya lokal memberi peluang besar bagi pengembangan archipelago tourism berbasis komunitas.
Konsep “gugus” dalam DOB Makayoa bukan hanya istilah geografis, tetapi pendekatan strategis untuk menghadirkan pemerintahan yang lentur, adaptif dan relevan terhadap ekosistem kepulauan. Bayangkan layanan kesehatan melalui puskesmas apung, sekolah daring antar-pulau, atau pelabuhan rakyat yang menjadi simpul ekonomi maritim.
Inilah pemerintahan yang tidak memaksa rakyat menyesuaikan diri dengan sistem, tetapi justru membentuk sistem yang berpihak pada realitas kehidupan masyarakat. Lebih dari itu, Makayoa adalah ruang hidup yang telah lama terbentuk secara historis dan budaya.
Letusan Gunung Kie Besi di Makian, misalnya, pernah mendorong migrasi besar-besaran ke Kayoa dan Kasiruta. Perpindahan itu bukanlah pemutusan, melainkan kelanjutan sejarah dalam bentuk baru: harmoni antara pendatang dan warga lokal.
“Makayoa” akronim dari Makian, Kasiruta dan Kayoa, bukanlah hasil rekayasa administratif, melainkan artikulasi dari ikatan sosial dan identitas kolektif yang telah ada jauh sebelum negara hadir.
Dalam narasi lokal, Makayoa adalah tanah bersama. Tempat gotong royong lintas pulau, tempat sejarah tidak dipisahkan oleh laut, dan tempat persaudaraan dibentuk oleh pelayaran, perdagangan, dan nilai-nilai maritim. DOB Makayoa adalah pengakuan negara atas ruang hidup itu, bukan dari atas, tapi dari akar bawah.
Pulau Makian sendiri memiliki daya dukung kuat untuk menjadi pusat pertumbuhan. Dari lereng vulkaniknya tumbuh komoditas strategis seperti kenari, pala, cengkih, dan kelapa. Perairannya kaya dengan tuna, cakalang, dan tongkol. Belum lagi jejak spiritual Islam yang menjadikan Makian sebagai salah satu poros peradaban di Maluku Utara. Tapi tanpa akses, semua potensi itu akan terus tersembunyi di balik statistik.
Dalam sejarahnya, bahkan nama “Indonesia” pun lahir dari pemahaman atas struktur gugus pulau. Istilah ini bukan sekadar warisan kolonial, tetapi pengakuan geografis yang melandasi identitas bangsa. Dari George Windsor Earl hingga Ki Hajar Dewantara, kita tahu bahwa bangsa ini lahir dari nalar kepulauan yang saling terhubung.
Mari kita bicara jelas sejak awal: Gugus Pulau Makayoa, bukan daerah kepulauan Makayoa. Bukan untuk pencitraan atau gaya-gayaan, melainkan agar visi pemekaran ini dibangun dengan fondasi konseptual yang benar.
Nama adalah identitas. Identitas menentukan arah. Dan arah menentukan masa depan.
Jika kita ingin Makayoa menjadi DOB yang sukses, inklusif, dan kontekstual, maka ia harus dirancang sebagai wilayah gugus pulau. Karena menyebut dengan benar adalah langkah pertama untuk membangun dengan benar.
Tinggalkan Balasan