Mukhtar A. Adam


Cengkeh Kie Raha, memaksa warga dunia mengelilingi bumi Kie Raha. Sumber konsep negara kepulauan, yang diperkenal awal dengan “Jazirah Al’Mulk”

Kie Raha sumber lahirnya teori global cengkeh sumber masuknya Islam Nusantara

Rempah Menyusun Roadmap Penjajahan Masa Lalu

Tambang Memulai Roadmap Penindasan masa depan

Andaikan bisa memutar kembali jejak sejarah Kie Raha, akan banyak ditemukan kehebatan generasi Kie Raha masa lalu, memproduksi cengkeh, pala, dan lada yang memaksa warga dunia menjadikan komoditi perdagangan global 1000 tahun sebelum masehi, menjadikan cengkeh sebagai alat tukar, cengkeh menjadi cikal bakal penemuan Teori Evolusi, menginsiprasi Teori perdagangan global, menemukan model pemerintahan kesemakmuran berbetuk konfederasi Kie Raha, yang dikembangkan dalam Nusantara, oleh bangsa Eropa disebut Uni Eropa, dan berbagai sumber ilmu merawat kesemestaan.

Generasi Kie Raha masa lalu bukanlah cerita hampa pinggiran sejarah global, tetapi mencatatkan perjalanan Sejarah yang dilakoni dalam visi besar menempatkan manusia sebagai khalifah, menjadi detonator perubahan keadaban dunia atas tanda-tanda kebesaran Ilahiahi yang menempatkan gugus pulau (Jazirah Al’Mulk) sebagai episentrum kekhalifaan perawat alam semesta, yang mempengaruhi geopolitik, ilmu pengetahuan dan hakekat kemanusiaan.

Tahun 1000 SM, cengkeh telah menjadi komoditi perdagangan yang dikembangkan bangsa Arab, dari pulau-pulau Kie Raha, menyebrang ke India, dan mendarat di Istabul Turki, menjadi pasar komoditi cengkeh yang mempengaruhi bangsa eropa di masa kekuasaan Romawi. The Indian Ocean in World History (Chaudhuri, 1985), mengungkap jaringan perdagangan maritim dunia telah terbentuk jauh sebelum kolonialisme, dan rempah dari Kie Raha adalah titik simpul utama. Pelabuhan-pelabuhan rempah ini menjadi penghubung penting hingga ke Istanbul, Turki — yang kemudian, dalam narasi besar sejarah dunia, menjadi episentrum kekuatan Islam setelah menaklukkan Konstantinopel (1453) dan mengakhiri Kekaisaran Romawi Timur.

Rempah-rempah bukan sekadar komoditi dagang, ia adalah sumber inspirasi temuan riset dan pengetahuan, menjadi bahan bakar amaliah keadaban kesemestaan. Dari aromanya yang mengundang dunia, rempah menjadi medium aktualisasi tanda-tanda kebesaran Ilahi — seperti termaktub dalam amanah kekhalifahan manusia di bumi. Ia mengandung pesan ilahiah yang diterjemahkan para cendekia melalui pengetahuan dan riset lintas zaman. Dari gugus pulau kecil yang jauh, terpancar isyarat kebesaran semesta yang menggerakkan dunia: ilmu, perdagangan, filsafat, dan peradaban.

Rempah-rempah Kie Raha bukan hanya menghangatkan dapur bangsawan Eropa, tetapi mengguncang pusat kekuasaan dunia lama. Keterputusan pasokan rempah akibat dominasi kekuatan Islam atas jalur dagang mendorong Eropa untuk mencari jalur alternatif — dan di sinilah awal mula eksplorasi maritim Eropa. Dalam Guns, Germs, and Steel (Jared Diamond, 1997), motivasi utama ekspansi Portugis dan Spanyol bukan semata agama atau emas, melainkan kontrol atas komoditas strategis: rempah-rempah.

Maka dimulailah Age of Discovery: Portugis tiba di Goa India (1509), menguasai Malaka (1511), dan mencapai Ternate (1512). Mereka tidak tahu pasti di mana letak Kie Raha — tetapi aroma cengkeh memanggil dari kejauhan. Bahkan pada abad ke-16, menurut catatan Antonio Pigafetta, 1 pon cengkeh di Eropa bernilai setara 7 gram emas murni — menunjukkan betapa vitalnya komoditas ini dalam tatanan ekonomi global saat itu.

Namun yang menarik bukan hanya soal dagang. Dari perburuan rempah inilah ilmu pengetahuan modern mendapat bahan bakarnya. Alfred Russel Wallace, dalam The Malay Archipelago (1869), mencatat bahwa pengalamannya di Halmahera — khususnya saat sakit malaria di Dodinga (Halmahera Barat) — menjadi titik refleksi penting yang mendorongnya menulis surat kepada Charles Darwin. Surat ini kemudian menjadi pemantik lahirnya teori evolusi yang mengguncang ilmu biologi dan filsafat alam modern.

Tak hanya ilmu hayati, rempah juga memicu perkembangan teori ekonomi. Adam Smith, dalam The Wealth of Nations (1776), dan David Ricardo, dalam Principles of Political Economy and Taxation (1817), merumuskan konsep perdagangan bebas dan keunggulan komparatif dengan mengambil pelajaran dari perdagangan dunia yang salah satu simpulnya berasal dari “The Spice Islands” — yaitu Maluku, termasuk Gugus Rempah Nusantara Maluku Kie Raha.

Pulau-pulau kecil ini bukan hanya pelabuhan dagang, tapi pusat pembelajaran peradaban, tempat dunia belajar mengenali dirinya dan memahami semesta. Dunia datang ke Kie Raha bukan sekadar untuk mengambil, tapi untuk mencatat, merenung, dan kemudian berubah.

Mencari Makna dari Sejarah

Ketika kesadaran kolektif atas pelambatan, ketimpangan, disparitas, keterbelakangan, dan berbagai stigma buruk yang dilekatkan pada Masyarakat Kie Raha, seolah mengusik Kembali untuk sejenak menatap masa lalu dari jejak jalannya peradaban, dari tontonan ketimpangan atas tarian cakalele yang membabat hutan atas nama industry kayu Sidangoli dan Mangoli, yang membuat Halmahera tengelam dari ancaman alam, Emas yang merajai pasar sebagai symbol kemakmuran bermunculan di tanah Halmahera, Kembali memaksa Eropa datang merebut, mengusir habitat Rusa, ikan teri, atas nama kemakmuran pergi membawa emas, meninggalkan luka keterburukan di teluk kao.

Belum selesai luka tambang ditampal, dari nanah kemiskinan yang melingkari Teluk Kao, dari punahnya cengkeh yang di monopoli BPPC, atau hilangnya kepercayaan diri Kopra yang ditinggal pergi Bimoli, dari ketakutan Covid-19 yang mengancam Pasugo (Pernapasan), terdengar Gong Hilirisasi di bunyikan warga Halmahera bersembunyi di rumahnya, Cina datang mengepung Halmahera dari berbagai penjuru, melintasi laut pacific, terbang melalui Halim dan Samratulanggi bersama serdadu-serdadu Cina, bersama mesin-mesin bertekhnologi tinggi, merubah tanah Halmahera menjadi Feronikel (FeNi), Nickel Pig Iron (NPI), Ni-matte, dan Mixed Hydroxide Precipitate (MHP), yang berlayar dari Weda Halmahera Tengah menuju Cina dan berbagai negara di dunia, bagai Ferdinand Magellan penjelajah Portugis membawah rempah ke bangsa eropa.

Anak-anak pulau kier aha menjadi penonton yang penuh senyum, setelah Presiden Jokowi dengan bangga berpidato penuh mengelegar menyebut pertumbuhan ekonomi tertinggi didunia seolah mengambarkan kemakmuran rakyatnya, yang dibuktikan dengan kegembiraan pesat yang menutupi badan jalan, mobil, perahu dan moda transportasi dipenuhi dentuman music dan goyang poco-poco yang membahan membawa rengkin indeks Bahagia, menjadi dalil utama dari miskin yang Bahagia.

Miskin Bahagia, dari logistic yang mahal, memicu harga barang konsumsi, dengan kehidupan warga di 57 pulau tidak layak hidup atas keterbatasan fasilitas Kesehatan, Pendidikan dan layanan public, menjadi potret nyata yang mengundang teriakan keadilan Sejahtera bagi anak-anak pulau.

Daerah Otonomi Baru (DOB) seolah menjadi Solusi yang paling mungkin atas ketidak adilan fiskal di negara kepulauan, yang merumuskan fiskal menggunakan konsep continental yang berorentasi pada wilayah daratan dan cenderung mengabaikan konsep Nusantara yang dirumuskan dalam Deklarasi Juanda, 1958, adalah wujud nyata dari gugatan terhadap cara pejabat negara merumuskan Nusantara dalam konsep continental di hamparan 17.580 pulau dan 6.000 pulau berpenghuni, tidak menjadi rumusan kebijakan fiskal yang berkeadilan pada rakyat Kepulauan Nusantara.

Anak-anak Kie Raha, yang terlahir dari gugus pulau sekaligus menjadi miniature Nusantara dalam negara Kepulauan, mulai sadar atas ketidak adilan distribusi pembangunan, ketidak adilan rumusan fiskal, ketidak adilan distribusi pembangunan, ketidak adilan kebijakan pembangunan gugus pulau, memulai Gerakan konstitusional melalui pembentukan daerah baru, dari Utara Halmahera tercatat 3 daerah baru (Kota Tobelo, Kab Galda dan Kab Kao Raya), di Timur Halmahera (Kab Wasilei) di Barat Halmahera (Kota Jailolo) di Tengah Halmahera (Gebe Patani) di Selatan Halmahera (Kab Gane Raya, Kota Bacan, Kab Obi, dan Kab Gugus Pulau Makayoa), Tidore (Sofifi ibukota Provinsi), Kepulauan Sula (Kab Mangoli).

Ketidak adilan model kebijakan pembangunan berorentasi continental yang menempatkan jumlah penduduk telah menciptakan Grouth Center, yang timpang, Urbanisasi yang mendorong pemusatan pembangunan Kawasan tertentu, dan pemusatan layanan public pada wilayah perkotaan dan pulau besar, dan meninggalkan keterbelakangan di wilayah gugus pulau berpenghuni.

Anak-anak pulau dari gugus pulau Kie Raha, mengambil jalan pendek membentuk DOB sebagai garansi percepatan pembangunan yang merangkai pulau dari pulau berpenghuni dan pulau berproduksi menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam skema pembangunan Nusantara sebagai wujud nyata dari Amanah deklarasi Juanda untuk terus berjuang merawat Nusantara berkadilan.

Oleh : Kiebesi.com
Editor
Oleh : Kiebesi.com
Reporter