Oleh: Asmar Hi. Daud
“Jika kita keliru menyebut diri, kita bisa keliru menyusun nasib,”kata Mukhtar A. Adam.
Dalam arus wacana pemekaran wilayah di Maluku Utara, nama Gugus Pulau Makayoa kembali didengungkan. Bagi sebagian orang, nama ini masih terdengar sebagai istilah administratif. Namun jika ditelusuri lebih dalam, gugus ini mengandung narasi sejarah dan jati diri yang jauh lebih kuat daripada sekadar usulan Daerah Otonom Baru (DOB).
Salah satu simpul penting dalam gugus ini adalah Guraici — sebuah nama yang berasal dari akar kata gura-ici, yang berarti “pusat perahu-perahu kecil.” Bukan kebetulan, sebab sejak dahulu, Guraici dikenal sebagai titik temu, tempat transit, dan simpul konektivitas antarpulau. Mereka bukan sekadar gugus pulau, tapi ruang sosial dan ekonomi yang menghidupi masyarakat dari perahu, laut, dan jaringan solidaritas antar pesisir.
Dalam pengertian ini, Guraici adalah metafora, dan Makayoa adalah manifestasi. Wilayah ini dibentuk bukan oleh jalan-jalan aspal, tetapi oleh arus laut, pelabuhan kecil, serta semangat gotong royong antar pulau. Mereka tumbuh dari logika maritim, dari realitas kehidupan yang menjadikan laut sebagai jalan raya utama, bukan sekadar batas atau hambatan geografis.
Dari Akar Budaya Maritim
Usulan pemekaran DOB Gugus Pulau Makayoa tidak bisa hanya dinilai dari aspek administratif, jumlah penduduk, atau sekadar proyeksi potensi fiskal. Ia harus dibaca sebagai ikhtiar untuk memulihkan cara pandang pembangunan, dari yang selama ini terpusat pada daratan, menjadi berpihak pada identitas kepulauan.
Makayoa, sebagaimana Guraici, menegaskan bahwa konektivitas laut adalah nadi kehidupan, dan bahwa negara harus hadir dengan pendekatan yang sesuai dengan kenyataan geografis dan budaya. Jika pusat perahu kecil seperti Guraici mampu menjadi simpul peradaban lokal selama berabad-abad, mengapa negara modern tidak bisa menyusunnya kembali dengan sistem yang lebih adil dan berkelanjutan?
Gerakan Restoratif
Dalam banyak kasus, DOB gagal menjadi solusi karena disusun di atas kepentingan elitis, tanpa akar yang kuat dalam identitas sosial dan sejarah lokal. Namun Makayoa berbeda. Mereka hadir sebagai kesadaran kolektif masyarakat gugus pulau yang selama ini merasa tersisih dalam sistem pemerintahan yang lebih berpihak pada daratan besar.
Di sinilah DOB Makayoa menjadi penting, bukan sekadar menambah kabupaten, tetapi menambah ruang pengakuan. Gugus Pulau Makayoa memberi peluang pada model kelembagaan baru yang lebih representatif. Pos layanan keliling laut, sistem pendidikan kepulauan, pelayanan kesehatan antar-pulau, serta statistik yang membedakan desa darat dan desa laut.
Menjawab Tantangan Ekonomi Biru
Jika Indonesia serius dengan visi ekonomi biru dan transformasi maritim, maka Gugus Pulau Makayoa adalah laboratorium hidupnya. Di sinilah kita bisa mengembangkan sistem perikanan berbasis komunitas, wisata bahari yang lestari, serta inovasi logistik laut yang menjangkau pulau-pulau kecil secara adil.
Lebih dari itu, Makayoa adalah peluang untuk mendesain ulang hubungan negara dan laut, yaitu dari pendekatan yang eksploitatif menjadi yang partisipatif dan berbasis kedaulatan lokal. DOB Makayoa bisa menjadi tonggak lahirnya otonomi maritim, bukan sekadar otonomi wilayah.
Kembali ke Akar
Guraici mengingatkan kita bahwa sebelum negara hadir, masyarakat kepulauan sudah membangun konektivitasnya sendiri. Mereka saling mengunjungi, berdagang, dan membentuk ikatan sosial melalui jalur laut. Makayoa adalah kelanjutan dari kisah itu.
Hari ini, kita punya peluang untuk menebus ketimpangan itu — bukan dengan membangun jembatan beton, tapi dengan membangun kesadaran baru bahwa kita adalah anak-anak laut, bukan anak-anak daratan. Kita dibentuk oleh layar dan ombak, bukan oleh aspal dan trotoar.
Gugus Pulau Makayoa bukan sekadar wilayah administratif, tetapi adalah pernyataan sikap, simbol identitas, dan arah baru untuk pembangunan yang adil dan relevan bagi negeri Kepulauan Nusantara seperti Indonesia.
Tinggalkan Balasan