Oleh: Dr. Syahril Muhammad
Di tengah diskusi hangat mengenai pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB), kita kerap terjebak dalam debat administratif dan fiskal: cukup atau tidak cukup Pendapatan Anggaran Daerah (PAD), siap atau tidak siap Sumber Daya Manusia (SDM), mampu atau tidak mampu secara kelembagaan. Namun, kita lupa bahwa lahirnya sebuah wilayah tidak semata-mata produk dari kebijakan birokratik, tetapi juga buah dari sejarah panjang dan narasi sosial yang dibentuk oleh masyarakatnya sendiri.
Demikianlah halnya dengan Makayoa—nama yang lahir dari simpul-simpul sosial dan kultural antara tiga wilayah utama: Makean, Kayoa, dan Kasiruta. Tiga wilayah ini bukanlah ruang kosong di peta, tetapi gugusan sejarah yang saling terhubung melalui migrasi, dakwah, perdagangan, dan strategi hidup masyarakat maritim.
Salah satu kisah paling penting dalam narasi ini adalah perjalanan Sultan Muhammad Bakir dari Makean ke Kasiruta. Ketika Gunung Kie Besi di Makean meletus dan sumber air menjadi langka, sang Sultan bersama keluarganya memutuskan berlayar mencari tempat hidup baru. Dalam pelayaran mereka melintasi Kayoa, Talimau, Moari, hingga akhirnya menemukan mata air dan dataran subur di Kasiruta. Di sinilah kemudian berdiri pusat pemerintahan, pengembangan dakwah Islam, dan pembentukan masyarakat baru yang tetap berakar pada nilai-nilai Makean.
Perjalanan ini bukanlah sekadar ekspedisi ekologis, tetapi juga perluasan wilayah budaya dan spiritual. Sultan Muhammad Bakir tidak hanya membawa rakyatnya secara fisik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai Islam yang damai, menyebarkan tradisi keilmuan, serta membentuk jaringan genealogis dan kultural yang hari ini masih bisa ditelusuri dari Kasiruta ke Raja Ampat, Seram, Banggai, dan Loloda.
Makayoa adalah sejarah yang hidup. Ia membuktikan bahwa laut bukanlah pemisah, melainkan pemersatu. Bahwa identitas tidak dibentuk oleh batas administratif semata, tetapi oleh jejak peradaban dan nilai-nilai yang bertahan dari generasi ke generasi.
Maka ketika wacana pemekaran wilayah Makayoa menjadi DOB mencuat, itu bukan sekadar tuntutan administratif, melainkan bentuk pengakuan negara terhadap sejarah lokal yang telah lebih dulu menyatukan wilayah-wilayah ini dalam harmoni sosial, solidaritas keislaman, dan strategi bertahan hidup masyarakat kepulauan.
Pemekaran Makayoa adalah cara untuk menjadikan negara lebih dekat dan relevan bagi masyarakat gugus pulau. Ini adalah upaya menghadirkan keadilan spasial, memperpendek rentang kendali pemerintahan, serta mengembalikan marwah sejarah yang selama ini tenggelam dalam arus pembangunan daratan.
DOB Makayoa bukanlah proyek elit, tapi buah dari sejarah rakyat. Dari perahu kora-kora hingga madrasah pertama di Kasiruta, dari migrasi ekologis hingga penyebaran Islam yang damai, Makayoa telah membuktikan dirinya sebagai satu entitas budaya dan politik yang layak diakui sebagai wilayah otonom.
Sejarah telah mengalir dari laut, dan kini saatnya ia dijaga melalui kebijakan yang adil.
Tinggalkan Balasan