Oleh: Asmar Hi Daud
Ketika rakyat telah bersuara, ketika desakan pemekaran wilayah menggema dari pesisir ke pusat kota, ketika harapan digantungkan di pundak para wakil rakyat- justru saat itulah DPRD Halmahera Selatan memilih menjadi penghianat, menodai amanah konstitusional secara terang-terangan.
Sidang paripurna pada 18 Juni 2025, yang diagendakan secara resmi oleh BANMUS DPRD untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) Pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) MAKAYOA, berakhir memalukan. Bukan karena gempa bumi. Bukan karena kerusuhan. Tapi karena kemalasan, ketakutan, dan manuver elit pengecut yang bacul di tubuh DPRD sendiri.
Dari total 30 anggota dewan, hanya 11 orang yang hadir. Sementara 19 lainnya memilih mangkir, lari dari tanggung jawab, bersembunyi di balik tirai kekuasaan yang dibiayai dari keringat rakyat.
Ini bukan sekadar ketidakhadiran. Ini pengkhianatan terang-terangan. Sebuah kudeta moral terhadap suara rakyat. Ini adalah bentuk ketakutan, bukan ketegasan. Bentuk kelumpuhan moral, bukan kepemimpinan.
Tak Layak Disebut Wakil Rakyat
Bagaimana mungkin mereka yang menyandang gelar “anggota dewan yang terhormat” justru melecehkan keputusan resmi lembaga mereka sendiri? Paripurna itu bukan agenda gelap. Itu keputusan legal atas desakan rakyat. Tapi mereka memilih bungkam, bahkan membubarkan forum hanya karena tak kuorum.
Apa yang disampaikan oleh Nahrawi, Ketua Tim Percepatan DOB MAKAYOA, patut menjadi alarm bagi publik:
> “DPRD Halsel mengabaikan aspirasi masyarakat dengan tidak melaksanakan paripurna pembentukan PANSUS DOB. Padahal agenda ini sudah dijadwalkan secara resmi oleh BANMUS DPRD pada 18 Juni 2025, atas desakan masyarakat.”
Lebih menyedihkan lagi, sebagian anggota DPRD justru mempertanyakan sumber anggaran dan arah kerja Pansus, seolah-olah perjuangan pemekaran hanya proyek gaya-gayaan. Mereka bingung harus berbuat apa, seperti pelajar yang lupa materi ujian.
Apakah ini wajah legislatif yang kita pilih dan layak kita dipertahankan?
Mental Bacul, Jiwa Penakut
Kita sedang membicarakan soal pemekaran wilayah, bukan soal pesta elite. Ini soal keadilan distribusi pembangunan, soal nyawa pelayanan publik di wilayah-wilayah gugus pulau yang selama ini hanya menjadi penonton di kampung sendiri.
Namun ketika momen sejarah itu datang, anggota DPRD Halsel justru bersembunyi, seperti pengecut yang takut bayangannya sendiri.
Mereka bukan sedang menjaga martabat lembaga — mereka melucuti kehormatannya sendiri. Ketika mandat rakyat dicampakkan, tak ada lagi alasan untuk menghormati lembaga itu. Kepercayaan telah diinjak-injak.
Saatnya Rakyat Bicara Lebih Lantang!
Jika DPRD tak lagi menjadi rumah aspirasi, maka rakyat harus mengambil alih panggung sejarah.
Publikasikan daftar 19 anggota DPRD Halsel yang mangkir!
Jadwalkan paripurna ulang dengan jaminan kehadiran penuh!
Jika tidak mampu bekerja, mundurlah secara terhormat, sebelum nama kalian dicatat sejarah sebagai pengkhianat rakyat!
Dan kepada masyarakat gugus pulau Halsel — jangan diam. Ini bukan sekadar soal prosedur administrasi. Ini tentang harga diri daerah, tentang masa depan anak cucu yang berhak mendapat pelayanan dan akses setara.
Desak mereka. Lawan mereka. Paksa mereka bekerja atau enyahkan dari kursi kekuasaan.
Karena jabatan bisa dibeli, tapi integritas tak bisa diwariskan. Karena rakyat tak butuh aktor parlemen yang pintar bersandiwara, tapi pejuang yang siap berdiri di garis depan.
Jika parlemen memilih diam, rakyat harus bersuara lebih lantang.
Pemekaran bukan hadiah. Ini adalah hak. Dan hak harus direbut — bukan ditunggu.
Tinggalkan Balasan