Oleh: Asmar Hi. Daud Mahasiswa Doktoral Ilmu Kelautan (IK) Unsrat Manado
Cadangan nikel Harita di Pulau Obi yang diproyeksikan dieksploitasi hingga 50 tahun ke depan harus dibaca sebagai rencana rekayasa ulang sistem sosial-ekologis pulau kecil secara total, bukan hanya soal proyek industri. Ini adalah pintu masuk untuk mempertanyakan masa depan sebuah pulau kecil, tentang apa yang terjadi ketika mesin ekstraksi dibiarkan menyala selama setengah abad sementara daya dukung ekologis; air, tanah, laut, tubuh manusia punya batas yang jauh lebih pendek. Artinya, kita sedang berhadapan langsung dengan risiko hilangnya basis ekologis kehidupan masyarakat pesisir.
Di saat yang sama, Harita Nikel diguyur dua lapis pujian, yakni Anugerah “Bisnis & HAM 2025” dari SETARA Institute, yang menempatkannya sebagai perusahaan tambang yang dianggap patuh standar perlindungan HAM dengan skor 65 (rating B), serta dua Penghargaan Subroto 2025 dari Kementerian ESDM untuk program pendidikan dan kesehatan di Pulau Obi.
Dalam narasi resmi, kombinasi ini membentuk citra ideal bahwa tambang hijau, peduli HAM, pro-pendidikan, pro-kesehatan. Namun dalam tradisi ekonomi politik ekologi (EPE), kita justru diajak membalik pertanyaan – apakah penghargaan ini bukti masalah telah selesai, atau justru bagian dari mesin legitimasi untuk melanggengkan ekstraksi jangka panjang?
Pulau Kecil, Tambang Raksasa & Logika 50 Tahun
Pulau Obi bukan Jawa, Sumatra atau Kalimantan. Obi adalah pulau kecil dengan ekosistem rapuh dan ruang hidup yang terbatas. Ketika sebuah perusahaan merencanakan eksploitasi nikel hingga 50 tahun ke depan, artinya kita tidak sedang bicara “proyek ekonomi”, tetapi rekayasa ulang seluruh sistem sosial-ekologis pulau itu selama satu setengah generasi manusia.
Kajian ilmiah tentang dampak tambang nikel di Obi menunjukkan pola yang mengkhawatirkan. Pencemaran air laut dan sungai oleh limbah mengandung logam berat (termasuk kromium heksavalen), degradasi kualitas tanah, gangguan terhadap pertanian, dan ancaman kesehatan masyarakat dari paparan kronis bahan beracun.
Paparan jangka panjang logam berat yang bersifat karsinogenik bukan ancaman abstrak; ia menumpuk pelan dalam tubuh manusia, jauh melampaui masa hidup satu siklus proyek CSR atau satu periode bupati.
Laporan investigasi internasional menambah lapisan kegelisahan ini. Dokumen bocor yang dianalisis The Guardian, Gecko Project, dan OCCRP menunjukkan adanya temuan kadar kromium heksavalen di sumber air minum warga Kawasi yang melampaui ambang batas nasional, sementara secara publik perusahaan sebelumnya menyatakan air tersebut aman dikonsumsi.
Harita membantah tuduhan bahwa mereka menutupi bukti tersebut, namun fakta bahwa studi internal dan narasi publiknya tidak selalu sejalan sudah cukup untuk menuntut transparansi yang jauh lebih kuat.
Belum cukup sampai di situ, laporan lain mencatat kegagalan kolam sedimen yang menyebabkan air bercampur lumpur yang diduga mengandung logam berat dan bahan kimia-menggenangi rumah, kebun, dan mengalir ke sungai hingga laut memerah.
Bagi keluarga di Kawasi, ini bukan “externality” atau dampak sampingan seperti yang ditulis di laporan perusahaan, tapi bukti nyata dari kebijakan yang menukar keselamatan warga dengan keuntungan tambang.
Penghargaan Menjadi Perisai Legitimasi
Dalam wacana korporasi, penghargaan Bisnis & HAM 2025 dan Subroto 2025 dihadirkan sebagai bukti komitmen pada keberlanjutan, HAM, pendidikan, dan kesehatan masyarakat Obi. Pemberitaan resmi menekankan skor 65, kategori Business and Human Rights Early Adopting Company, program Rumah Belajar Komunitas, dan Soligi Zero Stunting sebagai contoh keberhasilan tanggung jawab sosial perusahaan.
Dari sudut pandang Ekologi Politik Ekonomi (EPE) dan kajian legitimasi korporasi, ini menarik karena setidaknya ada tiga hal.
Pertama, penghargaan semacam ini cenderung menilai “kerapihan dokumen dan prosedur” kebijakan HAM, mekanisme grievance/pengaduan, uji kelayakan dan kehati-hatian, bukan keseluruhan pengalaman hidup masyarakat di sekitar tambang. Dengan kata lain, yang diukur adalah seberapa baik perusahaan mengintegrasikan prinsip HAM dan ESG dalam sistem manajerialnya, bukan seberapa kecil jejak ekologis dan sosial yang dirasakan nelayan, petani, dan perempuan pesisir setiap hari.
Kedua, ketika sebuah perusahaan yang sedang disorot karena dugaan pencemaran air dan logam berat berbahaya pada ikan-temuan yang diangkat oleh jurnalisme investigatif lintas negara, pada saat yang sama dirayakan sebagai kampiun HAM dan CSR, kita melihat apa yang oleh banyak ilmuwan disebut sebagai rights-washing (pencitraan hak asasi) atau greenwashing (pencitraan hijauh), dimana penggunaan bahasa hak asasi manusia dan keberlanjutan untuk memoles citra di tengah konflik sosial-ekologis yang belum terselesaikan.
Ketiga, penghargaan ini beroperasi sebagai modal simbolik yang sangat berguna dalam konteks politik transisi energi. Global membutuhkan nikel untuk baterai kendaraan listrik dan energi terbarukan. Indonesia menawarkan diri sebagai pemasok utama. Dalam konfigurasi kekuasaan ini, label “patuh HAM” dan “juara pendidikan-kesehatan” dapat menjadi tameng untuk menjawab kritik internasional dan domestic dan lokal. Bahkan boleh jadi dengan menepuk dadah: lihatlah, kami sudah sesuai standar, kami bahkan dapat penghargaan.
Namun masalahnya adalah dengan standar siapa, dan dengan pengalaman siapa?
SES, Keadilan Ekologis & Suara yang Tenggelam
Dalam kerangka Sistem Sosial-Ekologis (SES), kita memandang Obi sebagai sistem yang terdiri dari:
● Sistem sumber daya (RS): pulau kecil, ekosistem pesisir, air tanah, sungai, dan laut.
● Unit sumber daya (RU): ikan, hasil tangkap nelayan, air bersih, lahan pangan, sekaligus bijih nikel yang ditambang.
● Sistem tata kelola (GS): regulasi pertambangan, izin, penilaian AMDAL, kebijakan hilirisasi, termasuk mekanisme penghargaan HAM dan Subroto.
● Pengguna (U): masyarakat pesisir, nelayan, petani, buruh tambang, anak-anak, perempuan, hingga aparat negara di berbagai level.
Penghargaan Bisnis & HAM dan Subroto beroperasi terutama di level tata kelola (GS) terlihat memperkuat legitimasi kebijakan ekstraksi dan menambah argumen bahwa operasi tambang “sudah dikelola secara bertanggung jawab”. Namun di level sistem sumber daya (RS) dan unit sumber daya (RU), dari berbagai studi dan laporan menunjukkan degradasi kualitas lingkungan dan risiko kesehatan yang tidak kecil.
Di level pengguna (Users), kita melihat ketimpangan yang menyakitkan. Sebagian warga menjadi buruh tambang dan penerima manfaat program CSR, tetapi di saat yang sama kehilangan akses terhadap air bersih, ruang tangkap ikan yang aman, dan basis ekonomi tradisionalnya. Resiliensi sosial-ekologis (RSE) atau ketahanan sosial-ekologis yang muncul/dibangun malah tidak mandiri karena dikendalikan pihak luar. Artinya, masyarakat dipaksa beradaptasi dalam kerangka yang didefinisikan oleh perusahaan dan negara, bukan dalam kerangka keadilan ekologis yang menjamin hak mereka atas lingkungan yang sehat dan masa depan yang layak.
Dari sudut pandang Environmental Justice (EJ) atau keadilan lingkungan, persoalannya idak lagi soal “apakah perusahaan punya program pendidikan dan kesehatan?”, melainkan siapa yang menanggung beban utama risiko ekologis dan kesehatan jangka panjang?, siapa yang menikmati surplus ekonomi terbesar dari 302 juta ton nikel yang diangkut keluar pulau?, dan sejauh mana masyarakat pesisir terlibat secara bermakna dalam menentukan batas, bentuk, dan syarat ekstraksi?
Transisi Energi Hijau yang Tidak Adil
Penghargaan terhadap Harita datang dalam konteks yang lebih luas, yakni transisi energi global yang membutuhkan nikel untuk kendaraan listrik dan energi terbarukan. Retorikanya sangat manis. Dari energi kotor menuju masa depan hijau. Tetapi laporan-laporan tentang kromium heksavalen di air minum, banjir lumpur dari kolam sedimen, dan ikan yang terkontaminasi logam berat justru memperlihatkan bahwa sebagian beban transisi ini sedang ditumpuk di atas bahu pulau-pulau kecil seperti Obi.
Di sinilah letak pertentangan mendasarnya bahwa transisi energi bisa mengurangi emisi global, tetapi tidak otomatis “adil”. Tanpa kontrol yang kuat, transparansi radikal dan posisi tawar yang setara bagi komunitas lokal, ia mudah berubah menjadi transisi dari satu bentuk ketidakadilan ke bentuk yang lainnya, dari udara warga yang penuh asap dan debuh ke air pulau yang beracun.
Euforia Penghargaan
Apa yang seharusnya kita tuntut, sebagai publik Maluku utara dan atau masyarakat Pulau Obi?
Pertama, lembaga pemberi penghargaan baik lembaga HAM maupun kementerian teknis perlu membuka metodologi penilaian mereka secara rinci, termasuk bagaimana mereka mempertimbangkan temuan-temuan independen tentang pencemaran, risiko kesehatan, dan konflik sosial. Penilaian “patuh HAM” tidak boleh berhenti pada ceklis dokumen, tetapi harus diuji silang dengan realitas ekologis dan suara masyarakat yang terdampak.
Kedua, perusahaan perlu diajak (dan bila perlu dipaksa) meninggalkan pola komunikasi defensif yang mengandalkan bantahan dan program CSR sebagai jawaban tunggal. Jika ada temuan kadar logam berat yang melampaui baku mutu di air minum dan biota laut, itu bukan hanya soal isu reputasi atau nama baik, melainkan isu keselamatan publik. Transparansi dan atau keterbukaan penuh terhadap data lingkungan dan keterlibatan komunitas dalam memantau kualitas air dan laut harus menjadi syarat dasar operasi, bukan bonus.
Ketiga, negara-baik pusat maupun daerah harus mengingat dan menyadari bahwa Pulau Obi adalah pulau kecil dengan daya dukung terbatas. Rentang 50 tahun eksploitasi nikel perlu dibaca bersamaan dengan rentang 50-100 tahun kehidupan manusia dan ekosistem di sana. Jika di ujung 50 tahun nanti yang tersisa hanyalah pulau yang tercemar dan masyarakat yang kehilangan basis hidup, maka seluruh narasi “keberlanjutan” hari ini akan tercatat sebagai kegagalan moral dan politik.
Akhirnya, penghargaan Bisnis & HAM dan Subroto bukan akhir cerita, tapi awal ujian besar. Ketika 302 juta ton nikel dikeluarkan dari jantung pulau kecil, yang dipertaruhkan adalah keberanian kita untuk memastikan bahwa hak hidup, martabat dan masa depan masyarakat pesisir tidak dapat terus ditawar dan dikorbankan demi ilusi kemakmuran yang rapuh.



Tinggalkan Balasan