Oleh = Asmar Hi. Daud
Pulau Obi adalah tubuh ekologis yang rapuh, selembar papan bumi kecil yang semestinya dirawat seperti halaman depan negeri. Di atas pulau kecil seperti Obi, segala kesalahan industri bersuara lebih keras, karena ruang pulihnya sempit, penyangga atau pelindung ekologinya tipis, dan daya adaptif (resiliensi) sosialnya digantungkan pada beberapa sumber daya yang kian menipis.
Dalam beberapa tahun terakhir, HARITA Nickel menerima berbagai penghargaan, termasuk dari SETARA Institute, yang menempatkannya sebagai perusahaan tambang yang “kompatibel” dengan standar HAM. Namun sebutan atau label-label semacam ini, yang dibangun dari dokumentasi korporasi, tidak serta-merta merefleksikan apa yang dirasakan tubuh pulau dan tubuh manusia di Kawasi dan sekitarnya.
Penghargaan adalah narasi, tetapi air yang tercemar, laut yang berubah warna, dan listrik yang mati-hidup adalah kenyataan. Kritik ini lahir dari ketegangan di antara keduanya.
Mesin Logam Dunia
HARITA Group menguasai salah satu kawasan tambang nikel terbesar di Indonesia bagian timur. Di Pulau Obi, konsesi mereka membentang ribuan hektar area tambang dan kawasan industri. Sebuah luasan yang pada konteks pulau kecil, setara dengan mengambil paru-paru satu tubuh untuk dijadikan mesin produksi global.
Deposit nikel di Obi tergolong high-grade laterite, diperkirakan mencapai 302 juta ton cadangan terukur dan tertunjuk, sehingga operasi smelter, HPAL, dan infrastruktur pendukung dirancang untuk siklus ekstraksi sekitar 40-50 tahun ke depan. Ini berarti satu generasi penuh di Obi akan hidup bersamaan dengan kepulan debu ore, truk berat yang melintas, dan limbah industrial yang setiap hari harus dinegosiasikan oleh warga.
Jangka waktu 50 tahun bukanlah sekadar angka matematika-teknis, melainkan adalah usia satu anak yang lahir hari ini sampai ia menjadi kakek – selama itu pula ruang hidupnya berkompromi dengan industri nikel.
Kerentanan Sosial-Ekologis
Berbagai riset independen, investigasi internasional, dan kajian saintifik memberi gambaran yang jauh berbeda dari narasi resmi perusahaan.
Air minum warga Kawasi ditemukan mengandung Cr⁶⁺ (kromium heksavalen) dengan kadar 70-140 ppb, melampaui baku mutu Indonesia (50 ppb). Cr⁶⁺ adalah karsinogen kelas satu. Tidak ada penghargaan HAM yang dapat merevisi dampak biologis unsur kimia ini dalam tubuh manusia.
Di pesisir, sedimentasi dan debu ore mengubah karakteristik ekologis perairan, menurunkan hasil tangkapan nelayan, memaksa mereka melaut lebih jauh, dan meningkatkan biaya operasional nelayan.
Di darat, krisis air bersih dan listrik berkepanjangan menimbulkan gelombang protes warga Kawasi. Tak heran kalau kemudian warga memblokade jalan, aksi massa, dan tuntutan pemenuhan pelayanan dasar.
Semuanya menunjukkan bahwa adaptasi warga Obi bukanlah pilihan bebas, melainkan adaptasi terpaksa (forced adaptation) akibat tekanan industri ekstraktif.
Pulau kecil seperti Obi tidak punya ruang untuk kesalahan. Sekali mata air rusak, tidak ada sungai besar yang bisa menjadi cadangan. Sekali teluk-pesisir tercemar, tidak ada laut terbuka yang cukup dekat untuk menjadi kompensasi. Di sinilah kesenjangan terbesar, yakni pulau kecil memiliki daya jelajah ekologis yang terbatas, tetapi menanggung beban industri berskala global.
Bahaya Pencintraan dalam Industri Hijau
Penghargaan HAM, sertifikasi ISO, dan laporan keberlanjutan sering digunakan sebagai instrumen legitimasi. Dalam literatur Ekologi Politik, lagi-lagi ini disebut rights-washing, yakni praktik memoles citra perusahaan melalui narasi hak asasi, sementara di lapangan warga menghadapi efek ekologis dan sosial yang memburuk.
Riset SETARA menggunakan dokumen perusahaan sebagai bahan penilaian – ia menilai komitmen formal, bukan outcome ekologis yang terukur di komunitas ring-satu. Sementara riset ilmiah dan temuan lapangan menunjukkan paparan logam berat, kerentanan pesisir, ancaman relokasi, ketidakadilan distribusi air dan energi, serta degradasi ekosistem pulau kecil.
Artinya, ada jurang besar epistemik antara “komitmen HAM” dan “pengalaman hidup warga Obi”.
Jadi bagaimana mungkin perusahaan yang tengah dikritik atas pencemaran Cr⁶⁺, krisis air, dan konflik relokasi justru diakui sebagai ‘perusahaan paling kompatibel dengan standar HAM’?”
Di sinilah kritik diarahkan. Bahwa penghargaan tidak dapat berfungsi sebagai imunitas moral. Industri ekstraktif harus memahami bahwa publik tidak hanya menilai apa yang tertulis dalam laporan tahunan, tetapi apa yang terjadi pada tanah, air, dan tubuh manusia di sekitarnya.
Pulau Obi Mengawasi
HARITA Nickel tentu memiliki hak untuk beroperasi selama izin berlaku, tetapi Pulau Obi juga memiliki hak untuk hidup. Dan pulau kecil punya ingatan Panjang bahwa setiap bukit yang hilang, setiap teluk dan atau pesisir laut yang berubah warna, hutan mangrove dan terumbu karang yang yang ditutupi lumpur, migrasi ikan yang kian jauh dari Pantai karena habitatnya rusak, setiap anak yang batuk akibat debu PLTU, adalah catatan ekologis yang tak bisa dihapus oleh penghargaan apapun.
Melalui kritik ini, ditegaskan bahwa pulau kecil daya dukungnya terbatas, hak ekologis-sosial masyarakat pesisir harus dihormati, dan industri ekstraktif wajib menjaga dan bertanggung jawab memastikan aktivitas dan jejak eklogisnya tidak merusak sistem kehidupan dan atau fondasi hidup warga.
Karena itu, HARITA tidak hanya perlu berhati-hati karena “diawasi aktivis”, tetapi karena sedang diadili oleh sejarah. Beberapa tahun ke depan, nama HARITA akan dibaca sebagai contoh perusahaan yang berani mengakui salah, memulihkan kerusakan, dan menempatkan martabat warga Obi serta keselamatan ekosistem di atas laba jangka pendek, atau justru tercatat sebagai korporasi yang menghabisi satu pulau kecil, menjadikannya sekadar lampiran kawasan industri, demi memasok logam murah bagi transisi energi dunia yang berdiri di atas jejak ekologis dan luka sosial masyarakat pesisir.





Tinggalkan Balasan