Mukhtar A. Adam


 

Fenomena pemekaran daerah atau Daerah Otonomi Baru (DOB) terus menggeliat sejak era reformasi dan desentralisasi digulirkan pada tahun 1999. Gelombang tuntutan DOB ini tidak bisa dilepaskan dari satu persoalan mendasar: keadilan fiskal yang timpang antarwilayah, terutama dalam konteks negara kepulauan seperti Indonesia. Ketika sebagian daerah menikmati limpahan alokasi dana pembangunan, daerah lain—terutama yang berada di gugus pulau terpencil—harus berjuang dengan keterbatasan akses, infrastruktur, dan pelayanan publik dasar.

Penelitian ini menyoroti dua momen penting dalam perjalanan otonomi Indonesia: pertama, kondisi fiskal di daerah induk pasca-kemerdekaan tahun 1945, dan kedua, semangat pemekaran pasca-desentralisasi tahun 1999. Keduanya merekam bagaimana kebijakan fiskal yang berorientasi sentralistik cenderung menciptakan ketimpangan alokasi anggaran. Akibatnya, banyak daerah menganggap pemekaran sebagai satu-satunya jalan agar mereka mendapat perhatian dan anggaran yang lebih besar dari pusat.

Pemerintah pusat memang memberikan sinyal bahwa pemekaran hanya layak dilakukan jika daerah memiliki kemampuan fiskal mandiri. Namun ironisnya, kemampuan tersebut sulit dicapai karena sebagian besar sumber daya potensial—terutama yang berkaitan dengan kekayaan alam—masih dikendalikan oleh pemerintah pusat. Dalam banyak kasus, pendapatan asli daerah (PAD) sangat terbatas, dan ketergantungan terhadap transfer fiskal seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) tetap tinggi.

Dari hasil wawancara dengan delapan informan kunci—mulai dari anggota DPR RI dan DPD RI, kepala daerah, akademisi, hingga tokoh masyarakat—ditemukan benang merah bahwa tuntutan pemekaran tak semata ambisi elite lokal. Tuntutan tersebut mencerminkan rasa ketidakadilan fiskal yang mendalam. Mereka yang tinggal di daerah-daerah terpencil dan terpisah oleh laut, merasa jauh dari pelayanan negara. Mereka menyadari bahwa pola alokasi fiskal cenderung memusat di kawasan pertumbuhan, pusat pemerintahan, dan pulau-pulau besar yang cepat tumbuh. Sementara wilayah-wilayah yang berada di luar radar pembangunan nasional, harus puas sebagai penonton dari panggung pertumbuhan.

Dalam kerangka negara kepulauan, desentralisasi seharusnya tidak hanya memindahkan urusan administratif dari pusat ke daerah, melainkan juga menjamin bahwa setiap warga negara—terlepas dari tempat tinggalnya—memiliki hak dan akses yang setara terhadap pembangunan. Namun pada praktiknya, kebijakan fiskal nasional masih abai terhadap karakteristik geografis negara kepulauan. Pemerataan anggaran belum sepenuhnya menyentuh daerah-daerah kepulauan yang terpencil, terluar, dan tertinggal.

Pemekaran daerah dalam konteks ini bukan hanya ekspresi politik lokal, tetapi juga bentuk koreksi atas distribusi fiskal yang tidak adil. Ketika formula perhitungan anggaran lebih berpihak kepada daerah besar dan padat, maka semakin kuat pula dorongan daerah-daerah kecil untuk “naik kelas” menjadi DOB agar bisa mengakses porsi fiskal yang lebih layak. Pemerintah pusat pun harus mawas diri: menahan pemekaran bukanlah solusi jika ketimpangan fiskal tidak dibenahi.

Kini, di tahun 2025, kita menyaksikan kian maraknya tuntutan pemekaran daerah. Fenomena ini harus dilihat sebagai panggilan untuk membenahi sistem fiskal nasional—membangun desain alokasi anggaran yang lebih responsif terhadap wilayah kepulauan, lebih adil terhadap daerah-daerah pinggiran, dan lebih adaptif terhadap kenyataan bahwa Indonesia bukan hanya Jawa, bukan hanya daratan, tapi juga gugusan pulau-pulau yang berhak atas masa depan yang sama cerahnya.

Keadilan fiskal bukan soal angka. Ia adalah hak warga negara. Dan pemekaran, sejatinya, adalah seruan atas hak yang belum terwujud.

Oleh : Kiebesi.com
Editor